Mengurut waktu, ibarat mencari celah pembenaran dari kesalahan waktu yang berjalan. Sulsel saat ini sedang diadu diantara waktu 23 dan 32 yang sedang berlaga. Mungkin kita akan kebingungan jika hanya menyebut
angka-angka tersebut, namun di balik 23 dan 32 tersebut, pengaruh besar sedang terasa di Sulsel saat ini.
23 Juni Sulsel menggelar pesta demokrasi di sepuluh kabupaten kota, Bulukumba, Gowa, Maros, Pangkep, Barru, Luwu Timur, Luwu Utara, Tana Toraja, Soppeng dan Kepulauan Selayar telah berusaha memberi
pendidikan kepada masyarakatnya untuk belajar memaknai arti demokrasi sesungguhnya.
Beberapa daerah lolos dalam ujian demokrasi tersebut, namun sikap
miris pula terasa di beberapa daerah yang belum tahu arti aspirasi dan
penegakan demokrasi yang sedang diujikan. Tana Toraja membara, disusul
Soppeng dan Gowa, antisipasi selanjutnya di Bulukumba dan Pangkep.
Pembelajaran apalagi yang akan didapatkan Sulsel, semua sudah
mewanti-wanti untuk "Berpolitik Santun". Namun nyatanya, yang ada
hanya hanya politik pembakaran. Tidak cukupkan sikap mahasiswa Sulsel
yang mencoreng citra daerah ini di mata nasional dan dunia. Haruskan
pagelaran pemilukada memberi sumbangsi citra buruk daerah ini pula.
Momen pilkada untunglah mampu diredam dengan berlaganya 32 negara di
Johannesburg, Afrika Selatan dalam pagelaran piala dunia. Sulsel
seakan mencari celah dari laga tersebut, hampir disetiap daerah
penggila bola yang juga penggila politik, seakan tertahan untuk
melakukan tindakan amoral dengan hasil pilkada.
32 negara sedang memberi pelajaran kepada dunia dengan bermain secara
demokratis dan salin menghargai. Walau didalam lapangan hijau setiap
negara saling mempertahankan negaranya bahkan ada yang luka-luka,
namun setelah pertandingan selesai, semua pemain melebur bahkan ada
yang bertukar pakaian sebagai simbol penghargaan.
Sementara kita di Sulsel, semua calon sebelum 23 salin meneken
kesepakatan untuk siap menang siap kalah, namun
setelah 23 yang ada hanya siap menang dan tak terima kekalahan. Memang
tak semua seperti itu, tapi lima daerah yang sempat memanas memberikan
gambaran bahwa seperti inilah sikap demokratis kita.
Semua saling menyalahkan. Yang menjadi kambing hitam adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU), sikap tak profesional hingga berpihak kepada
salah satu kandidat tak urung mengiringi langkah KPU. Sama halnya
dengan Panwaslu, yang semestinya berdiri sebagai badan independen,
namun hingga saat ini, tak pernah ada kandidat yang secara pasti
diberhentikan Panwaslu walau secara terang-terangan melakukan
pelanggaran.
Kembali kemasa lalu. Jika ingin mencari pembenaran, masa orde lama
adalah masa yang tenang dalam hal seperti ini, walau kita semua tahu
masa itu sama sekali tak cocok lagi untuk negara ini. Sangat
disayangkan, negera ini yang baru belajar arti sebuah demokrasi harus
berdarah-darah untuk memberi pengertian kepada masyarakat.
Walau dalam pertandingan bola, sikap wasit kadang kontroversial
menentukan sikap. Seperti saat laga perdelapan final antara Jerman dan
Inggris yang akhirnya dimenangkan Jerman dengan skor telak 4-1, namun
hingga peluit panjang ditiup sang wasit.
Haruskah pelajaran itu didikte dijidat kita semua, bahwa "Inilah
demokrasi itu, harus seperti ini, bukan kekerasaan yang selama ini
kalian lagukan", sayangnya walau pelajaran itu sudah didepan mata,
ternyata mata kita tetap buta untuk
melihat celah dipembelajaran di piala dunia. ()
angka-angka tersebut, namun di balik 23 dan 32 tersebut, pengaruh besar sedang terasa di Sulsel saat ini.
23 Juni Sulsel menggelar pesta demokrasi di sepuluh kabupaten kota, Bulukumba, Gowa, Maros, Pangkep, Barru, Luwu Timur, Luwu Utara, Tana Toraja, Soppeng dan Kepulauan Selayar telah berusaha memberi
pendidikan kepada masyarakatnya untuk belajar memaknai arti demokrasi sesungguhnya.
Beberapa daerah lolos dalam ujian demokrasi tersebut, namun sikap
miris pula terasa di beberapa daerah yang belum tahu arti aspirasi dan
penegakan demokrasi yang sedang diujikan. Tana Toraja membara, disusul
Soppeng dan Gowa, antisipasi selanjutnya di Bulukumba dan Pangkep.
Pembelajaran apalagi yang akan didapatkan Sulsel, semua sudah
mewanti-wanti untuk "Berpolitik Santun". Namun nyatanya, yang ada
hanya hanya politik pembakaran. Tidak cukupkan sikap mahasiswa Sulsel
yang mencoreng citra daerah ini di mata nasional dan dunia. Haruskan
pagelaran pemilukada memberi sumbangsi citra buruk daerah ini pula.
Momen pilkada untunglah mampu diredam dengan berlaganya 32 negara di
Johannesburg, Afrika Selatan dalam pagelaran piala dunia. Sulsel
seakan mencari celah dari laga tersebut, hampir disetiap daerah
penggila bola yang juga penggila politik, seakan tertahan untuk
melakukan tindakan amoral dengan hasil pilkada.
32 negara sedang memberi pelajaran kepada dunia dengan bermain secara
demokratis dan salin menghargai. Walau didalam lapangan hijau setiap
negara saling mempertahankan negaranya bahkan ada yang luka-luka,
namun setelah pertandingan selesai, semua pemain melebur bahkan ada
yang bertukar pakaian sebagai simbol penghargaan.
Sementara kita di Sulsel, semua calon sebelum 23 salin meneken
kesepakatan untuk siap menang siap kalah, namun
setelah 23 yang ada hanya siap menang dan tak terima kekalahan. Memang
tak semua seperti itu, tapi lima daerah yang sempat memanas memberikan
gambaran bahwa seperti inilah sikap demokratis kita.
Semua saling menyalahkan. Yang menjadi kambing hitam adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU), sikap tak profesional hingga berpihak kepada
salah satu kandidat tak urung mengiringi langkah KPU. Sama halnya
dengan Panwaslu, yang semestinya berdiri sebagai badan independen,
namun hingga saat ini, tak pernah ada kandidat yang secara pasti
diberhentikan Panwaslu walau secara terang-terangan melakukan
pelanggaran.
Kembali kemasa lalu. Jika ingin mencari pembenaran, masa orde lama
adalah masa yang tenang dalam hal seperti ini, walau kita semua tahu
masa itu sama sekali tak cocok lagi untuk negara ini. Sangat
disayangkan, negera ini yang baru belajar arti sebuah demokrasi harus
berdarah-darah untuk memberi pengertian kepada masyarakat.
Walau dalam pertandingan bola, sikap wasit kadang kontroversial
menentukan sikap. Seperti saat laga perdelapan final antara Jerman dan
Inggris yang akhirnya dimenangkan Jerman dengan skor telak 4-1, namun
sikap demokasi sang pemain tetap jalan. Walau secara resmi telah
mengadu kewasit tanpa ada unsur kekerasan, pertandingan tetap berjalanhingga peluit panjang ditiup sang wasit.
Haruskah pelajaran itu didikte dijidat kita semua, bahwa "Inilah
demokrasi itu, harus seperti ini, bukan kekerasaan yang selama ini
kalian lagukan", sayangnya walau pelajaran itu sudah didepan mata,
ternyata mata kita tetap buta untuk
melihat celah dipembelajaran di piala dunia. ()
Tidak ada komentar:
Posting Komentar